Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dikala Dendam Berubah Menjadi Rindu

Dendam?



Dendam sama  seperti api yang membakar kayu


Suatu malam, di balkon salah satu fakultas kampus yang lumayan terkenal di Jawa Tengah itu, terlihat para aktivis kampus masih berseliweran mengenakan almet biru tua mereka, ini semua dikarenakan ada rapat tahunan himpunan mahasiswa salah satu jurusan atau biasa disingkat AD/ART. Suasana seperti ini memang sering mewarnai fakultas ini, karena memang, di sinilah talenta-talenta orang seni dan budaya terlihat, karena memang penuh dengan bermacam kegiatan, hiburan dan latihan, mulai dari teater, mapala, olga, hmj, wahana sastra, wahana musik, rohis, BEM, Senat, studio riset, paduan suara, dan lain sebagainya yang terus membuat fakultas ini lebih hidup dibanding fakultas lain, di sini pulalah kampus terlihat seperti pasar, karena memang diisi oleh orang-orang yang memiliki beragam budaya, style yang tidak formal, katanya penuh dengan orang seni, kampus budaya dan warna-warni lain yang menjadikannya unik.  

Saat sedang istirahat dari kegiatan LPJ an per departemen, sambil mencomot snack pedas yang tersedia di depan meja, salah satu senior menghampiriku dan mulai berbincang-bincang membahas agenda untuk mendaki saat minggu tenang sebelum ujian akhir semester, dan akhirnya menyinggung tentang kegiatanku di Mapala fakultas, beliau penasaran dengan balas dendam yang dulu pernah aku ceritakan pasca aku menjalani Diksar, karena memang aku dan senior sama-sama memiliki hobi menjelajah.
 
“Kepikir gak?, kalo nanti udah jadi senior di Mapala, kamu bakalan balas dendam pada adek-adek junior, seperti apa yang telah kamu dapatkan dari senior-seniormu?” Tanya seniorku yang kebetulan teman satu organisasi jurusan,
“Awalnya iya mas, saat aku menjadi junior, rasanya apa yang aku dan teman-teman tanggung, kayak cacian makian, amarah, bentakan, tendangan yang diterima teman laki-laki kami, beban  carier yang bertambah berat karena diisi 3 batu kali ukuran lumayan dan 3 botol air mineral 1600 ml, seri yang harus dibayar dan bertambah terus tanpa ampun, di rendam dalam air kotor, direndam dalam air yang dingin, disiram air saat masih tidur, makan apa adanya, bahkan makan daun-daunan, di bangunin dini hari, disuruh bayar seri saat baru bangun, belum lagi logistik kami disita, padahal sebelum Diksar udah disuruh bawa makanan yang bergizi, biar pas Diksar sehat sejahtera, kataaaaaaaanya” dengan nadaku yang agak meledek

“Terus, pas Diksar kamu bawa logistik apa saja?” tanya seniorku balik
“Wah, kayak diinterogasi ni aku sama masnya, aku bawa yang sehat-sehat dong mas, kayak susu kaleng, susu kotak, cokelat, madu, roti tawar, sarden,  telor, beras, kornet, pocari sweat, vitacimin, beras, gula merah, nutrijel sama gula,  margarin, apel,  dan lain-lain mas, aku lupa, bawa mi instant juga”
“Setelah disita apa yang tersisa di cariermu?
“Ya Cuma beras segenggam,  mi instant satu biji, sama cokelat kecil satu batang”
“Wah, itu namanya pemerasan ya, gimana perasaanmu pas disita?”
“Ya kecewa mas, kesel juga, kan lumayan tuh makanan buat survive selama 4 hari di gunung”
“Apa alasan yang diberikan seniormu waktu itu?”
“Mereka bilang, logistik kami sengaja disita, karena kami harus belajar hidup survive selama 3 hari kedepan”
“Lalu bagaimana kalian memanage logistik buat konsumsi kalian?
“Kami berhemat mas, masak sebisanya dan seadanya dan dibagi rata, oh ya, waktu Diksar kami ber 15 mas, paling tiap makan, kami cuma kebagian 3 suap nasi dengan mi instant dan daun-daunan sebagai lauknya, pokoknya kalo dikenang, yang menyedihkan itu jadi indah mas, karena kebersamaan itu nikmat yang jarang kami temui”
“Lalu, apa yang kamu lakukan setelah menjadi senior sekarang?”
“Aku juga melakukan seperti apa yang telah dilakukan senior-senior kami terdahulu mas, menyita logistik mereka, haha”
“Apa yang kamu lakukan dengan hasil sitaan tersebut?”
“Kami membaginya dalam 2 kantong mas, satu kantong untuk konsumsi panitia dan jamuan untuk senior-senior yang datang melihat kegiatan dan junior-juniornya, yang satu kantong lagi kami sediakan juga buat junior, saat mereka mendapatkan reward, mereka diberi sedikit logistik, sisanya kami kembalikan saat mereka telah dilantik menjadi Anggota muda”
“Wah, bagus juga ya manage logistiknya, lalu, untuk para panitia apakah tidak disediakan anggaran untuk konsumsi?”
“Kalo masalah anggaran, kami punya mas, diperoleh dari dana Dipa ditambah uang kas dan hibah dari senior-senior, selain itu, saat pelantikan, kami makan bersama mas sama para junior dan senior, makanya  pengeluaran kami gede saat pelantikan mas”
“Wah, keren juga ya, lalu bagaimana dengan balas dendam tadi? apakah kamu jadi balas dendam pada juniormu?”
“Alhamdulillah, setelah menjadi senior dan sering melakukan kegiatan mendidik junior, tak ada terselip dendam itu sama sekali mas, malah pengen akrab dan dekat sama adek-adek,  padahal, aku pernah menjadi korlap Diksar, posisiku saat itu bebas melakukan apapun yang aku mau pada junior, namun aku tak tega menghardik mereka, paling cuma nambah seri saat mereka lelet, aku berjalan sesuai rundown acara yang ada mas, pernah juga aku menjadi ketua acara Basic Training Keahlian Khusus yang disingkat BTKK di goa Kiskendo, Kendal, Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar, tak ada korban seperti mapala fakultas teknik kemaren, dimana dua juniornya hanyut dan meninggal di tempat saat berlatih susur goa, hanya saja, ada dua junior kami yang jatuh saat rock climbing, untungnya cuma cedera ringan, lecet-lecet dan  memar, itu semua bisa kami atasi”
“Nah, itu baru namanya senior yang baik, yuk ah, kita masuk, waktu istirahat sudah habis, kan setelah ini, departemen kamu yang maju kan?”
“Iya mas, benar, yuk!”

Itulah sedikit dialog saya dengan senior, yang kadang suka bicara ngalor ngidul, kadang juga serius, bicara tentang dendam, saya belajar banyak ketika dendam tersembunyi dalam hati saya, ketika dendam menghantui saya, setiap yang baik-baik dari orang tersebut sepertinya tertutup oleh keburukannnya, meskipun saya mempunyai kemampuan untuk membalas, namun itu tak saya lakukan, karena bagi saya setiap akibat ada sebabnya, setiap sebab ada akibatnya. Mungkin saya adalah orang yang munafik, karena saya menganggap setiap orang adalah baik.

Dendam? Bagi saya dendam itu seperti api yang akan membakar kayu, akan membakar hati si empunya sendiri, bagi saya, dendam tak kan ada gunanya, hanya akan membuat jurang pemisah yang jauh dengan saudara-saudara kita sendiri, jika saya membalaskan dendam kepada orang yang pernah menyakiti hati saya, menghina saya dan keluarga, sama saja saya seperti mereka, menyalakan api sendiri dan akan membakar diri sendiri. Saat saya terfikir untuk balas dendam, saya akan mengingat yang baik-baik tentang pelaku, sehingga dendam itu perlahan-lahan berkurang, lagian juga takkan ada manfaatnya untuk saya, takkan membaut saya bahagia, malah sebaliknya. Saya serahkan semua kepada Allah, bersabar adalah salah satu cara agar tak mendendam, memperat silaturahmi juga akan mengikis dendam itu, dan mendoakan pelaku agar segera sadar atas perbuatannya, jangan membuat jarak dengan pelaku, karena dendam adalah pemecah dan pemutus silaturahmi. Semoga kita diberi hati yang mudah memafkan.  



Post a Comment for "Dikala Dendam Berubah Menjadi Rindu "